ETIKA BISNIS MENCIPTAKAN PERILAKU BISNIS YANG JUJUR, BERTANGGUNG JAWAB DAN BERINTEGRITAS TINGGI

ETIKA BISNIS - MOTIVATOR DJAJENDRA 2015

“Etika bisnis baru bisa diwujudkan bila sudah menjadi perilaku, kebiasaan, sikap, dan etos. Selama sebatas dokumen, etika bisnis belum eksis.”~Djajendra

Tanpa etika bisnis para stakeholders berpotensi menciptakan kecurangan dan merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis tersebut. Etika bisnis membantu perusahaan untuk mengembangkan nilai-nilai positif dari budaya etis. Budaya etis menciptakan tempat kerja yang aman, profesional, berisiko kecil, dipercaya, dan memiliki reputasi yang baik. Budaya etis melatih dan menyiapkan karyawan dan pimpinan untuk memecahkan semua dilema etika dengan sukacita.

Biasanya, ketika sebuah kejadian tidak etis menimpa perusahaan barulah orang-orang mulai berbicara tentang pentingnya etika bisnis. Secara mental, pada umumnya, dokumen tertulis etika bisnis dianggap sebagai bukti bahwa perusahaan sudah mengimplementasikan etika bisnis. Dan, dianggap sudah ada fungsi pengawasan untuk mengawasi kepatuhan insan perusahaan terhadap etika bisnis. Perlu dipahami bahwa etika bisnis tidaklah sesederhana itu, etika bisnis tidak cukup diwujudkan melalui sistem dan tata kelola. Etika bisnis baru bisa diwujudkan bila sudah menjadi perilaku, kebiasaan, sikap, dan etos.

Ketika etika bisnis dari dokumen tidak dijadikan hidup dalam perilaku, kebiasaan, sikap, dan etos; maka, budaya etis tidak bisa diwujudkan oleh perusahaan. Tanpa budaya etis, perusahaan akan mengalami hal-hal negatif, seperti: penipuan, penyalahgunaan wewenang, pemborosan, dilema etika tanpa solusi, kehilangan pelanggan atau klien, kehilangan karyawan terbaik, kehilangan reputasi, serta perusahaan sulit memecahkan persoalan-persolanan bisnis yang terkait dengan profesionalisme dan etika.

Dalam budaya etis orang-orang saling menghormati, saling berkontribusi, saling meningkatkan reputasi perusahaan. Budaya etis adalah kekuatan yang menciptakan perusahaan yang kuat dan tangguh oleh para insan perusahaan yang mampu menciptakan dirinya sendiri untuk berperilaku etis. Sebaliknya, dalam budaya tidak etis orang-orang akan saling melecehkan; menonton rekan kerjanya yang kesulitan; menonton ketidakberdayaan perusahaan dalam menghadapi dilema etika; membiarkan perusahaan dalam kesulitan keuangan; tidak memiliki empati dan toleransi untuk membangun kekuatan saat perusahaan sedang susah payah; membiarkan reputasi perusahaan hancur dan mati. Budaya tidak etis adalah bom waktu yang bisa menghancurkan perusahaan dari berbagai aspek organisasi dan bisnis.

Budaya etis selalu dalam tantangan dan cobaan. Sebab, Setiap orang memiliki subculture atau budaya selain budaya perusahaan, misalnya: budaya yang bersumber dari rumah, keluarga, tradisi, agama, lingkungan, kepercayaan, pengetahuan, sekolah, dan orientasi hidup seseorang. Bila subculture tidak selaras atau tidak senafas dengan budaya etis perusahaan, maka pelanggaran etika berpotensi melemahkan budaya etis perusahaan. Kesalahan etis harus selalu diawasi dan dimonitor sejak dini, lebih baik mencegah daripada membiarkannya tumbuh dan merusak.

Sifat bisnis adalah global dan universal. Oleh karena itu, nilai-nilai dan keyakinan dalam etika bisnis haruslah bersifat global dan universal. Tidak boleh ada pemahaman etika bisnis yang sifatnya eksklusif, mengkhususkan, ataupun dibuat terpisah dari yang lainnya dengan alasan perbedaan keyakinan. Keyakinan bisnis hanya satu yaitu mencari keuntungan melalui jalan integritas dan akuntabilitas. Jadi, dokumen etika bisnis yang dibuat oleh perusahaan harus berstandar global dan berpraktis secara universal, sehingga semua orang dari belahan dunia manapun dapat menerima dan memahaminya.

Dokumen etika bisnis harus dijelaskan dan diuraikan secara rinci untuk tujuan membentuk perilaku etis. Intinya, penjelasan dan uraian yang rinci ini haruslah menjelaskan tentang bagaimana cara para insan perusahaan memainkan peran dan fungsinya dalam budaya etis; bagaimana cara mereka membentuk sikap dan perilaku etis; bagaimana cara manajemen, dewan direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham memperlihatkan kemampuan untuk menjalankan budaya etis; bagaimana cara membentuk karakter dan kepribadian yang kuat untuk penguatan budaya etis; bagaimana cara menghadapi dilema etika yang pasti selalu muncul dari para stakeholders di luar perusahaan.

Para stakeholders dari luar perusahaan adalah orang-orang yang tidak ada dalam perusahaan, tetapi membawa kepentingannya dan kepentingan organisasinya. Mereka-mereka inilah sumber dilema etika yang paling rumit dan sulit. Tidak mungkin bagi perusahaan untuk mengendalikan mereka, apalagi bila mereka memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam menentukan keberlangsungan operasional perusahaan. Di sinilah diperlukan kecerdasan untuk menghadapi oknum-oknum yang hadir atas nama institusi atau lembaga, tetapi beretika rendah. Lembaga atau institusi yang mereka wakili mungkin sangat etis dan berbudaya etis, tetapi oknum bisa saja terkontaminasi oleh subculture yang buruk, sehingga mereka berperilaku tidak etis. Oleh karena itu, perusahaan harus menghadapi oknum-oknum beretika rendah ini dengan bijak, sambil memperhatikan konsekuensi dari setiap pilihan dan keputusan, yang pasti harus selalu sadar bahwa akan ada konsekuensi atas tindakan dan pilihan yang dibuat.

Untuk training hubungi www.djajendra-motivator.com