ETIKA DAN EMOSI NEGATIF

“Emosi Negatif  Bisa Muncul Kapan Saja Untuk Melibatkan Diri Ke Dalam Perilaku Tidak Etis.” – Djajendra

Seorang pribadi yang beretika pasti akan berupaya untuk menjalankan hal-hal baik di dalam pergaulan sehari-hari. Dia akan tetap berperilaku beretika saat berhadapan dengan realitas dari kelakuan buruk orang lain terhadap dirinya. Dia tidak akan terpancing untuk memanipulasi etika dalam menghadapi orang yang meminta dirinya untuk berbohong terhadap kebenaran. Dalam situasi apa pun dia akan menjadi diri sejati yang mampu mengendalikan emosionalnya untuk tetap berpikir, bertindak, dan bersikap dalam nilai-nilai etika. Dia tidak mungkin mau membohongi nuraninya untuk melakukan hal-hal tidak etis.

Beberapa waktu yang lalu, saya berbicara dengan seorang manajer yang dikenal di kantornya sebagai pribadi yang patuh pada kode etik perusahaan. Dia selalu berkehidupan dalam etika dan moral terpuji. Dalam rutinitas kesehariaannya, dia selalu memilih jalan etika untuk menjawab berbagai tantangan di tempat kerja. Tetapi, pada suatu ketika dia terlibat konflik persaingan yang melibatkan tindakan tidak etis dari rekan kerjanya. Karena konflik ini terus berkembang bersama nilai-nilai yang mulai sangat menjauh dari etika, maka manajer ini pun akhirnya terseret ke dalam konflik tanpa etika. Emosional negatif dirinya telah mengantar dirinya untuk berjalan jauh meninggalkan etika. Dia juga mulai terpancing bermain politik kantor agar posisi dan jabatanya tetap aman.

Perilaku tanpa etika adalah perilaku yang menggunakan segala cara untuk mencapai suatu tujuan. Manajer yang sebelumnya terlihat sangat etis, sekarang telah berubah menjadi manajer yang sangat berambisi untuk memenangkan konflik atas rekan kerjanya dengan cara apa pun. Dia telah terjebak dan menemukan dirinya berada dalam posisi untuk melakukan hal-hal tidak etis agar bisa tetap eksis di tempat kerja.

Mungkin karena batin dan pikirannya sangat gelisah dengan realitas yang dia hadapi, maka dia bertukar pikiran dengan saya untuk mendapatkan sebuah jawaban dalam pencarian di dalam konflik tanpa etis ini. Sejatinya dia adalah manajer yang mencintai kehidupan bermoral dan beretika, sehingga saat konflik muncul, dia lebih terpancing oleh emosi sesaat. Tapi, karena nilai-nilai kehidupan beretika sudah sangat kuat tertanam di dalam mindsetnya, maka hati nuraninya menolak untuk menggunakan segala cara dalam memenangkan konflik dengan rekan kerjanya.

Nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupan yang bila sudah lama tertanam di dalam diri, maka nilai-nilai tersebut akan selalu menyadarkan diri untuk kembali tampil dalam perilaku sesuai nilai-nilai yang ada di dalam diri. Oleh karena itu, setelah manajer tersebut tersadarkan bahwa dia sedang menuju arah kehidupan yang bukan dirinya, dan dia sadar bahwa dia telah terkepung dalam perasaan gelisah dan tidak nyaman oleh perilaku tidak etis. Pada akhirnya, dia kembali memperbaiki posisi dirinya dan keluar dari persaingan yang penuh konflik tanpa etis.

Manajer tersebut tidak ingin bekerja di balik topeng tanpa etika, dia ingin tetap menjalani karir kerjanya berlandaskan nilai-nilai etika. Menurut dia hidup ini adalah pilihan, dan pilihan dia untuk tetap berkehidupan atas perilaku etis yang mendatangkan kedamaian dan kebahagiaan ke dalam dirinya. Dia lebih memilih untuk hidup damai dan bahagia daripada hidup tanpa etis dengan jabatan yang lebih tinggi.

Setiap orang yang tersadarkan akan selalu memagari dirinya melalui nilai-nilai kehidupan positif. Dia akan memiliki perasaan, harapan dan impian untuk selalu selaras bersama nilai-nilai kehidupannya. Mereka selalu sadar bahwa manusia bukanlah robot atau sepotong jiwa tanpa nurani. Nilai-nilai positif yang etis selalu akan menghindarkan orang-orang untuk terlibat dalam konflik persaingan. Walaupun emosi negatif sesaat hadir untuk memaksa manajer berperilaku tidak etis, tapi kekuatan nilai-nilai etis di dalam dirinya mampu menyadarkan dirinya untuk kembali ke jalan etis yang penuh kebaikan.

Untuk training hubungi www.djajendra-motivator.com